Meski masa jabatannya akan segera berakhir, sosok Presiden Joko Widodo justru semakin sering muncul di media sosial dengan sentimen positif. Tagar seperti #JokowiSpirit, #JokowiSelaluDiHati, dan konten video kompilasi pencapaian dengan backsound musik sentimental membanjiri TikTok dan Instagram.
Fenomena ini memicu perdebatan. Di satu sisi, bisa jadi ini ekspresi organik sebagian masyarakat yang memang merasa puas dengan kepemimpinannya selama 10 tahun. Di sisi lain, banyak pengamat politik yang curiga ini adalah bagian dari “political engineering” atau rekayasa opini publik yang terstruktur untuk menjaga pengaruh politik Jokowi (dan kekuatan politik pendukungnya) pasca-2024, bahkan menyambut Pilpres 2029 di mana nama anak atau kerabatnya mungkin diusung.
Strategi membangun “legacy” dan nostalgia melalui konten digital yang mudah dicerna memang efektif di era algoritma. Ini menunjukkan pergeseran bentuk kampanye politik yang lebih halus, berdurasi panjang, dan mengandalkan keterikatan emosional.
Terlepas dari motif di baliknya, fenomena ini menjadi studi kasus menarik tentang bagaimana figur politik membangun narasi di ruang digital dan bagaimana algoritma media sosial dapat memperkuat echo chamber (ruang gema) tertentu.
Indonesia kembali dikejutkan oleh kebocoran data raksasa. Data sensitif ratusan juta peserta BPJS Kesehatan, termasuk…
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, termasuk terkait batasan…
Dunia konten Indonesia dikejutkan oleh kasus eksploitasi seorang nenek berusia lanjut (yang akrab disapa Mbah…
Platform seperti TikTok dan Instagram kini ramai dengan tagar #dietnasi atau #rice, di mana banyak…
Panggung politik Indonesia kembali memanas dengan diselenggarakannya sidang etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap…
Video singkat seorang anak Sekolah Dasar (SD) dengan percaya diri mengendarai sepeda motor ke area…