
Proyek megah pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, IKN Nusantara, terus menunjukkan progres fisik yang signifikan. Gedung-gedung pemerintahan inti mulai berbentuk, infrastruktur dasar dibangun, dan investasi mulai berdatangan. Pemerintah konsisten mempromosikan IKN sebagai kota dunia untuk semua yang mengusung konsep forest city, smart city, dan sponge city.
Namun, di balik kemajuan tersebut, polemik tetap mengemuka. Aktivis lingkungan menyoroti pembukaan lahan besar-besaran di Kalimantan, yang merupakan paru-paru dunia dan habitat satwa endemik seperti orangutan. Mereka mempertanyakan klaim “hijau” jika pembangunannya masih melibatkan penggundulan hutan.
Isu sosial juga tak kalah panas. Masyarakat adat di sekitar IKN, seperti Suku Balik dan Suku Paser, menyuarakan kekhawatiran akan tergusurnya hak ulayat, hilangnya sumber kehidupan, dan terpinggirkannya budaya mereka di tengah arus modernisasi. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan yang lebih konkret.
Perdebatan ini viral karena menyentuh fundamental: antara pembangunan nasional dan keberlanjutan ekologis, antara kemajuan dan keadilan sosial. Keberhasilan IKN kelak tidak hanya diukur dari kemegahan bangunannya, tetapi juga dari bagaimana proyek ini menjawab semua kekhawatiran tersebut.


