kdslot kdtoto dash88 dash88 login dash88 slot dash88 slot dash88 slot dash88 slot dash88 slot dash88 slot kdtoto login kdtoto togel kdtoto login kdtoto togel kdtoto login kdtoto togel kdtoto login kdtoto togel kdtoto login kdtoto togel kdtoto login kdtoto togel kdslot rtp kdslot apk slot online situs kdslot slot online kdslot online slot online kdslot login alternatif kdslot link alternatif kdslot gacor slot gacor kdslot daftar kdslot login kdslot rtp kdslot alternatif

“Menguak Polemik ‘Lahan 600 Hektar’ di IKN: Investasi Strategis atau Potensi Deforestasi dan Sengketa Baru?”

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menjadi sorotan setelah muncul pemberitaan tentang alokasi lahan seluas 600 hektar untuk pengembangan oleh pihak swasta. Pemerintah menyatakan bahwa alokasi ini adalah untuk kawasan strategis seperti bisnis, pendidikan, dan kesehatan, yang diperlukan untuk menarik investasi dan membuat kota hidup.

Namun, kritik bermunculan dari berbagai pihak. Aktivis lingkungan menilai alokasi lahan sebesar itu, jika tidak dikelola dengan transparan dan berwawasan lingkungan, berpotensi menyebabkan deforestasi baru dan merusak ekosistem Kalimantan yang sudah rentan. Mereka menagih janji bahwa IKN akan menjadi “forest city” atau kota hutan.

Ahli tata kota dan aktivis agraria mengkhawatirkan potensi sengketa lahan dengan masyarakat adat dan lokal di sekitar IKN. Meski pemerintah menjanjikan skema kompensasi, sejarah pembangunan di Indonesia seringkali diwarnai konflik agraria yang berlarut. Transparansi proses pengadaan lahan dan kejelasan status hukumnya menjadi hal yang mutlak.

Polemik ini menyentuh inti dari cita-cita IKN: apakah ia akan menjadi proyek pembangunan berkelanjutan yang inklusif, atau sekadar pemindahan pusat pemerintahan dengan repetisi masalah lama seperti ketimpangan dan kerusakan lingkungan? Jawabannya sangat bergantung pada tata kelola, pengawasan publik, dan komitmen nyata pemerintah terhadap prinsip-prinsip yang mereka gaungkan sendiri.

Scroll to Top