bu-ibu rumah tangga dan pedagang kaki lima kembali mengeluh. Harga cabai rawit merah dalam beberapa hari terakhir meroket luar biasa, mencapai Rp 100.000 hingga Rp 120.000 per kilogram di beberapa pasar. Lonjakan harga ini membuat cabai yang biasanya jadi bumbu wajib, kini berubah menjadi “komoditas mewah”.
Berdasarkan penelusuran, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Yang pertama adalah faktor cuaca. Musim hujan dengan intensitas tinggi dalam beberapa minggu terakhir telah menyebabkan banyak tanaman cabai yang rusak, busuk, dan gagal panen. Hasil produksi yang menurun drastis tidak sebanding dengan permintaan yang tetap tinggi, sehingga hukum ekonomi pun berlaku: harga melambung.
Faktor kedua adalah rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien. Cabai dari petani harus melalui banyak tangan sebelum sampai ke konsumen, termasuk tengkulak, pedagang pengumpul, dan baru ke pasar. Setiap mata rantai mengambil margin keuntungan, yang akhirnya membebani harga di tingkat konsumen.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah berupaya menstabilkan harga dengan operasi pasar, namun cakupannya masih terbatas. Fenomena ini kembali memantik debat tentang perlunya perbaikan sistem distribusi dan pemberdayaan petani secara langsung, agar harga di tingkat petani dan konsumen tidak terlalu jomlang.
Jakarta – Dalam upaya mempercepat pengembangan industri kendaraan listrik (EV) dalam negeri, pemerintah melalui Peraturan…
Bali – Kepulauan Indonesia kembali diguncang gempa bumi. Pada hari [Ganti dengan Tanggal Kejadian], pukul…
Di tengah berita-berita tentang krisis iklim dan deforestasi, kabar gembira datang dari dunia ilmu pengetahuan.…
Pemandangan tidak biasa kini kerap dijumpai di halte Transjakarta, MRT, dan KRL Commuterline Jakarta. Bukan…
Hanya dengan sepiring nasi campur seharga Rp 15.000, Warung Makan "Nasi Uduk Bu Siti" di…
Tindakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baru-baru ini menuai apresiasi dari berbagai kalangan. Lembembaga negara yang…